Bandar Lampung, Harian Koridor.com-Perguruan Tinggi memiliki peran penting dalan mengoptimalisasikan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia . Hal ini yang mendasari Universitas Bandar Lampung (UBL) melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MOU) dengan MK, yang dilakukan oleh Rektor UBL, Prof. Dr. Ir. M. Yusuf S. Barusman, MBA dan Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, Dr. Fajar Laksono, Selasa (01/10/2019). Kegiatan yang berlangsung di Auditorium Pascasarjana UBL ini juga dibarengi dengan Seminar Nasional bertema “Optimalisasi Peran Perguruan Tinggi Dalam Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi, PMK No. 35/PPU-IX/2012 Terkait Pengakuan Hak Masyarakat Adat”.
Dalam Sambutannya Fajar Laksono mengatakan, MK menyambut gembira kesempatan dan event kerjasama dengan UBL ini. “Seperti yang kita ketahui, MK tidak memilik cabang daerah di Indonesia. Dimana dalam UU MK hanya berkedudukan di ibu kota negara, padahal wilayah kerja MK mencakup seluruh wilayah nusantara. Oleh karena itu salah satu langkah yang ditempuh sejak awal berdiri 16 tahun lalu, adalah menggandeng Perguruan Tinggi yang jelas keberadaannya tersebar di seluruh daerah dan sudah tercatat sekitar 130 nota kesepahaman dengan Perguruan Tinggi,” ujar Fajar.
Sementara itu Yusuf Barusman juga memaparkan terkait permasalahan hukum adat di Indonesia, dimana Indonesia adalah negara yang memiliki keberagaman suku sangat besar, banyak sekali hukum-hukum adat yang belum diakui oleh negara yang pada akhirnya menimbulkan konflik. “Indonesia bukan hanya negara yang memiliki jumlah penduduk terbesar, tetapi juga suku dan budaya. Dahulu tidak ada nama Indonesia, namun saat ini kita sudah bersatu didalam satu nama yang menaungi seluruh suku-suku budaya ini. Bayangkan apabila terjadi ketidakstabilan maka konflik bisa terjadi di berbagai daerah, oleh karena itu melalui seminar inilah diharapkan kita dapat berdialog mengenai hukum adat di Indonesia,” ungkap Yusuf.
Prof. Dr. Lintje Anna Marpaung, S.H., M.H. salah satu narasumber seminar nasional yang diikuti oleh ratusan peserta perwakilan dari berbagai instansi dan perguruan tinggi ini mengungkapkan bahwa mahasiswa adalah pelaku akademisi yang dapat menjadi agen dalam penyampaian pemahaman hukum adat kepada masyarakat, dikarenakan pemahaman ini mampu membuat masyarakat mengerti dalam menghadapi permasalahan hukum yang menyangkut adat di suatu daerah. Dia juga menekankan kepada para mahasiswa untuk tidak melupakan bahasa daerah, karena itu adalah salah satu wujud pelestarian adat istiadat. “Jangan malu menggunakan bahasa daerah, karena itu adalah wujud kita melestarikannya,” tegas Lintje.(red).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar